Skip to main content

Resensi Novel Khadijah karya Sibel Eraslan


Ia menemukan dirinya seolah dalam dunia aksara. 
Semua tentang dirinya ia dapati terangkum ke dalam satu huruf. Mim, namanya.
Sebuah kata kunci, rumus, sandi dan juga tanda tangan. Mim!
Sebuah huruf yang ia tulis dengan sebatang lidi di atas permukaan pasir. 
Huruf yang tergores di dalam hatinya dengan tinta darah yang menetes dari luka di jarinya. 
Seantero jagad, baik di bumi maupun langit, penuh dengan huruf itu.
           
            Sebuah novel terjemahan karya Sibel Eraslan yang menjadi novel best seller dunia. Hingga tahun 2017 novel ini sudah sampai pada cetakan kesepuluh. Novel ini dibuka oleh penulis lewat perkenalan sang Bunda Mekah, Khadijah. Khuwaylid bin Asad dan Fatimah binti Zaidah tak henti-hentinya mengucapkan kata-kata yang pertama lahir, yang mula terbangun, yang awal melakukan perjalanan untuk meluapkan rasa gembira saat Khadijah lahir. Mereka berasal dari keluarga Hasyim yang bersambung dengan garis keturunan Qusay bin Kilab, Luay bin Galib: sebuah keluarga yang sangat terkenal di Mekah dengan jiwa kesatria dan dermawan. Keempat saudara wanita Khadijah yaitu Hala, Asma (Halidah), Hindun, dan Rukayah serta ketiga saudara laki-lakinya yang bernama Naufal, Awam dan Hizam. Dalam keluarga Khuwaylid tidak pernah ada keyakinan terhadap berhala, sebagaimana yang ada pada kaum Badui. Mereka adalah keluarga yang terkenal dengan akhlak yang mulia, pemberani dan setia menepati janji.

           Pernikahan pertamanya terjadi saat dirinya masih berusia muda. Ia menikah dengan Abu Hala bin Zurara, seorang saudagar Mekah yang berakhlak mulia. Lahir dua anak bernama Hala dan Hindun. Namun, suaminya menderita sakit sekembalinya dari Syam. Selang beberapa tahun Khadijah kembali memutuskan untuk membina rumah tangga dengan seorang bangsawan terkenal bernama Atik bin Aziz. Atik adalah tipe laki-laki Mekah yang keras. Sering kali, terlebih di malam hari saat dirinya mabuk, anak-anak maupun orang tua tidak luput dari cercaan, bentakan, dan luapan kata-kata kasarnya.
“Cukup! Aku pergi sekarang.” kata Khadijah pada suatu pagi tanpa sedikit marah. Bersama dengan dua putra dan bayinya, serta ditemani Maisaroh sang pelayan ia pergi meninggalkan Atik tanpa menimbulkan keretakan. Cerainya seorang wanita dari suami sama sekali tidak mungkin terjadi, membuat seluruh Mekah terheran-heran sekaligus kagum dengan tindakannya.
            Khadijah sering menjumpai mimpi yang sama. Ia dapati dirinya memandangi tetesan air yang jatuh ke tengah-tengah samudra. Entah bagaimana muncul wujud seperti Aladin, dengan memelas ia memberi isyarat kepada Khadijah untuk diajak pergi ke suatu tempat bernama pulau Salam. Khadijah paham bahwasanya kepulauan Salam dengan bahasa lisannya yang seperti melodi embusan angin  mengatakan kepadanya bahwa semua ini tak lain adalah kisah cinta. Kepulauan itu kosong tanpa penghuni sama halnya dengan hati Khadijah.
            Suatu pagi ia bermimpi perjalanan ke angkasa,  mentari yang terlihat di dalam mimpinya menuliskan huruf dan kemudian kata kepada Khadijah. Mimpi yang telah membuat hatinya gundah-gulana, ia memutuskan pergi ke Kakbah untuk menumpahkan segala isi perasaannya kepada Rabnya. Setelah beberapa lama memanjatkan doa di dinding Kakbah Khadijah segera berlari ke rumah pamanya, Waraqah bin Naufal. Seorang ahli hakikat yang amat disegani, seorang alim yang mampu menghafalkan Taurat dan Injil. Khadijah  menuturkan apa yang hendak ia ceritakan. Sesekali Waraqah mengganggukkkan kepala. Setelah selesai bercerita sang paman berkata bahwa mimpi yang dialami Kahdijah adalah sebuah hakikat tentang kedatangan seorang nabi terakhir. Menurut pemahaman Waraqah, kelak Khadijah akan menjadi istri dari sang nabi terakhir.
            Khadijah tak hanya melihat mimpi yang indah dan pernuh berkah. Dia juga berusaha mewujudkan kehidupannya dan berhasil. Anak yatim Mekah dengan mutiara Mekah. Pernikahan antara lelaki terpercaya Mekah dengan wanita suci Mekah. Amru bin Asad adalah paman dari pihak pengantin, sedangkan paman dari pihak laki-laki adalah Abu Thalib. Disini tedapat sebuah pidato terkenal dari Abu Thalib yang menjadi pembuka pernikahan. Next time nanti saya bahas secara terpisah :D.
            Novel ini ditutup dengan kepergian Khadijah selang tiga hari setelah kepergian Abu Thalib. Sehingga disebut sebagai “Sanatu’l Hazan”, tahun duka cita. Kemudian, suatu hari, dengan penuh kesedihan Rasulullah menggoreskan empat buah garis ke tanah dengan cabang pohon kurma. Empat garis yang menggambarkan empat wanita ahli surga yang paling mulia.

Comments

Popular posts from this blog

Bangkok Kungfu (Movie Review)

In Sunday I watch Thailand movie with my dorm's friends, the title is Bangkok Thailand. This film tell about gangsters who kidnapped children, making them a beggar to collect money. There are children named Chit, Ka, Na, and Pong. Pong has a mother who worked as a prostitute, when  a man come to his home to get ‘served’ his mother ask Pong to get out. That moment make gangsters get easily to kidnap Pong, brought him to their office building.  In their building every child get violence and make Pong feel afraid. He screams out then a gangster cut his tounge to make him silent. Not only Pong, a victim who loss his tounge but also Chit who loss his eyes, Ka who loss his hearing and Na who loss his fullfill needed as a ‘special child’.

Resensi Novel "Around The World in 80 Days"

“Harga Sebuah Pengorbanan untuk Impian” Judul buku                 : Around The World in 80 Days Penulis                      : Jules Verne Penerjemah                : Fikriangga Jatanda Penerbit                     : Octopus Edisi                           : 1 Tahun                         : 2015 Jumlah Halaman        : 306 halaman Harga Buku               : Rp 60.000,00             Novel ini merupakan karya J...

My Supermoon

Ada saat dimana bulan purnama berada pada jarak terdekat dengan bumi saat melintasi orbit eliptisnya, membuatnya tampak lebih besar dan lebih terang. Ada saat pula dimana bulan membelakangi bumi dan matahari dalam satu garis lurus, membuatnya tampak kemerahan saat bersembunyi di belakang bayangan bumi.             Seorang lelaki berdiri tegap meninggalkan meja makan di hadapannya. Postur tubuh tiggi, sorot mata tajam dan janggut tipis yang menghiasi dagunya menjadikan sosok lelaki itu tampak mempesona bagi siapapun yang melihatnya. Ia melangkahkan kaki ke arah meja nomor 11 sambil menyingkirkan remahan makanan yang mengotori jasnya, meja seorang gadis bergaun hijau tua dengan balutan kerudung hijau muda   bak permata Zamrud.